Ket [Foto]: warga Desa Soropadan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung menggelar tradisi nyadran di pasarean Suroloyo yang berada di Puncak Gunung Kekep, yang terletak di Dusun Kupen, Desa Kupen.
Uniknya Tradisi Nyadran Warga Soropadan di Gunung Kekep
Temanggung, MediaCenter - Menjelang datangnya bulan suci Ramadan, hampir seluruh desa di Kabupaten Temanggung menggelar tradisi sadranan. Tak terkecuali warga Desa Soropadan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung. Mereka menggelar tradisi nyadran di pasarean Suroloyo yang berada di Puncak Gunung Kekep, yang terletak di Dusun Kupen, Desa Kupen.
Uniknya, dalam tradisi sadranan, makanan atau sesaji dibawa menggunakan keranjang bambu. Selain itu, di nyadran ini juga tidak mengenal 'kembul bujono' atau makan bersama.
Nyadran di pasarean Suroloyo dimulai dengan arak-arakan warga Soropadan menaiki Gunung Kekep menuju ke komplek Makam Suroloyo (Sepujud), dengan iringan rebana dan memakai pakaian beskap. Warga menaiki satu persatu anak tangga Gunung Kekep, Jumat (1/4/2022).
Lokasi ini dipilih mengingat Pasarean Suroloyo merupakan makam Mbah Suropodo yang tak lain merupakan pepunden Soropadan yang “bubak alas” atau membuka lahan di Desa Suropadan, sehingga nilai historis tinggi tersebut begitu sakral dan sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Jika biasanya dalam tradisi sadranan, warga menggunakan tenong atau tampah untuk membawa makanan atau sesaji, namun di sadranan kali ini, warga menggunakan keranjang dari bambu.
Ketua Panitia Sadranan, Agus Sarwono menjelaskan, sadranan warga Soropadan dilakukan setiap Jumat Pahing Bulan Sya’ban. Dipilihnya areal pasarean ini merupakan makam dari Pangeran Pujud dan beberapa pengikut Pangeran Diponegoro yang merupakan cikal bakal Desa Soropadan.
“Para pepunden di pemakaman inilah yang menurunkan trah masyarakat di Desa Soropadan sampai saat ini. Kebetulan juga keturunan dari sini, sekarang menjadi orang-orang penting dan pejabat,” jelasnya.
Lanjutnya, terdapat juga tradisi lain sadranan di tempat ini. Jika sadranan pada umumnya makanan dimasukkan dalam tenong-tenong, tetapi di sini dimasukkan keranjang bambu dan tidak boleh dimakan secara bersama di areal tersebut.
“Alasannya memang di tempat ini jauh dari sumber air. Jadi makanan yang dibawa langsung dibagi-bagikan,” jelasnya.
Hastari (30) salah satu keturunan trah yang datang dari Yogyakarta mengaku, selalu mengikuti ritual sadranan setiap kali digelar. Tak hanya unik, namun tradisi ini merupakan ajang mengingat jasa leluhur, sekaligus menjalin kerukunan antar warga.
“Ini sarana kami dalam nguri-uri budaya, sekaligus mempererat kerukunan antar warga, karena banyak trah keturunan yang tersebar di luar kota dan luar negeri,” pungkasnya. (MC.TMG/dn;ekp)
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook