Iklan Layanan Masyarakat

Menangguk Untung Dari Pertanian Hidroponik

Selasa, 25 Feb 2020 15:53:28 1053

Keterangan Gambar :


Temanggung-Mediacenter. Tidak harus mencangkul untuk bercocok tanam dan menjadi petani. Demikian yang ada di benak Bayu Sagoro (53 Th) ketika memulai mengembangkan pertanian hidroponik di rumahnya Perumahan Sembawang, Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah.
Sebelumnya, Bayu tidak memiliki latar belakang bidang pertanian. Ia pun tidak memiliki keahlian mencangkul. Namun ia memilih bertani untuk mendukung ekonomi keluarganya setelah tidak lagi bekerja pada International Monetary Fund (IMF). Dari berbagai referensi yang ia dapat, akhirnya ia memilih untuk mengembangkan sistem pertanian hidroponik, tepatnya sejak 1 November 2015.
"Saya sama sekali tidak bisa mencangkul, tapi saya sudah sangat yakin dengan dunia pertanian. Jadi saya putuskan untuk menanam dengan sistem hidroponik ini sejak 1 November 2015," tutur suami dari Idawati Harsongko (52 Th) ini.
Bayu memulainya dengan membangun green house seluas 350 meter persegi. Dengan berbekal tekad yang kuat, ia lalu menanam berbagai macam sayuran sembari belajar secara autodidak. Antara lain seledri, cesim, daun bawang, bayam, kangkung dan tomat ceri.
Ketika itu Bayu mengaku cukup percaya diri meskipun dirinya belum mengetahui cara dan sistem bercocok tanam.
"Saya nekat saja, karena sudah yakin, maka saya lakukan dengan sepenuh hati. Setiap hari itu ada tetangga yang lewat, kebetulan mereka adalah petani dan memberitahukan kepada saya tentang cara bertani," ungkap Bayu, Selasa (25/2/2020).
Tentu saja upaya yang dilakukannya tidak langsung berhasil. Berbagai kendala dan permasalahan kerap ia hadapi, terutama terkait cara menanam yang bagus. Namun akhirnya ia tetap bisa memanen sayuran. Pada awal panen, Bayu menghadapi permasalahan lain. Ia bingung tempat  memasarkan sayuran dari kebun hidroponiknya.
"Sudah berhasil tanam, tapi bingung mau dijual kemana sayuran milik saya ini," kata Bayu.

Isterinya, Idawati berinisiatif menawarkan sayuran kepada kerabatnya di daerah Yogyakarta. Solusi pertama ia dapatkan. Semua sayuran hasil penen perdana hidroponik laku terjual. Sayuran hidroponik, diakuinya memang lebih mahal dari hasil pertanian tradisional. Kendati demikian, Bayu enggan menyebut harga jual sayurannya dan berapa hasil yang ia dapat dari bertani hidroponik itu.
"Saya tidak akan merebut pasar sayuran dari petani konvensional," ujarnya.
Kesulitan pemasaran kembali dialami pada panen kedua. Ketika itu, Bayu merasa tidak enak jika harus kembali menjual sayuran pada teman-teman dan kerabatnya. Ida lalu berinisiatif menawarkan sayuran pada masyarakat sekitar dan sejumlah kantor pemerintah. 
Lama kelamaan sayuran hasil kebun hidroponik itu malah makin dikenal luas. Bayu memiliki banyak pelanggan yang amat memperhatikan kesehatan, sehingga memilih sayuran hidroponiknya. Untuk memenuhi permintaan sayuran yang cukup tinggi, kini ia telah mempekerjakan empat orang karyawan. Masing-masing karyawan diberi upah sesuai Upah Minimum Kabupaten (UMK). Dari hasil hidroponik itu, diakui Bayu telah mampu mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
"Pelanggan sudah mulai banyak, ada dari masyarakat umum, juga rumah sakit. Khusus untuk tomat ceri ini saya kirim ke Bali," katanya menutup obrolan. (MC.TMG/Tosiani;Ekape)

Pencarian:

Komentar:

Top