Iklan Layanan Masyarakat

Cerita Sukses Penyandang Disabilitas Netra dengan Semangat dan Kerja Keras

Jumat, 18 Jun 2021 17:40:08 2560

Keterangan Gambar : Ginanjar Rohmat (31) salah seorang disabilitas netra yang berhasil lolos seleksi CPNS kuota disabilitas angkatan pertama dari Kementerian Pendidikan Tahun 2019.


Temanggung, MediaCenter - Penyandang disabilitas netra bukan berarti tidak bisa sukses. Mereka hanya harus bekerja lebih keras, karena memiliki banyak keterbatasan. Nilai-nilai itu yang selalu disampaikan Ginanjar Rohmat (31) salah seorang disabilitas netra tiap kali mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Temanggung, Jawa Tengah.

"Karena serba terbatas, maka kita harus bekerja lebih keras, dan harus diakui bahwa lingkungan dan kesempatan tidak begitu luas untuk disabilitas. Tapi asalkan mau berusaha, pasti ada jalannya. Kadang kita hanya belum tahu jalan itu," ujar Ginanjar, di ruang kerjanya, Jumat (18/6/2021).

Lelaki yang akrab disapa Pak Gin ini bekerja sebagai guru kelas 6 jenjang SD dan kelas 8 atau setara kelas 2 SMP di SLBN Temanggung. Ia merupakan salah satu penyandang disabilitas yang berhasil lolos seleksi CPNS kuota disabilitas angkatan pertama dari Kementerian Pendidikan Tahun 2019 untuk penempatan di SLB Temanggung.

Pak Gin mengalami kebutaan sejak Tahun 2006 saat masih pelajar kelas 1 SMA Wonosari, Gunung Kidul. Usianya baru 16 tahun sewaktu ia bermain sepak bola dengan beberapa teman. Tanpa sengaja pelipis kanannya terkena hantaman bola. Ketika itu kepalanya hanya sedikit mengalami pusing. Namun ia masih bisa melanjutkan permainan bola hingga usai.

Lima bulan setelah kejadian itu, penglihatan Ginanjar mulai nanar, meski bagian matanya tidak terasa sakit. Orang tua membawanya berobat ke Puskesmas terdekat di daerah Paliyan. Karena tidak bisa ditangani, Puskesmas merujuknya ke RSUD Wonosari. Pihak RSUD merujuknya ke RS dr Sarjito. Di sana didiagnosis retina sebelah kanan terlepas dari dinding bola mata atau disebut ablasio retina.

"Menurut dokter hal itu terjadi akibat benturan atau jatuh. Benturan yang saya alami hanya terkena bola dibagian pelipis. Tapi mata kiri masih bisa melihat," tutur Pak Gin.

Makin lama penglihatannya terus menurun. Jika bola mata kiri ditutup, maka ia sudah tidak bisa melihat. Pilihan pengobatan hanya operasi mata. Namun waktu itu RS dr Sarjito belum memiliki peralatan lengkap, sehingga ia menjalani operasi mata kanan di RS Dr YAP. Sedang mata kirinya diterapi laser, karena juga sudah mulai rusak meski tidak terlalu parah. 

"Setelah operasi sempat ada peningkatan, tapi masih berobat jalan. Beberapa waktu kemudian diperiksa lagi ternyata telah tumbuh jaringan baru, sehingga hasil operasi lepas," ujarnya. 

Ia dianjurkan untuk operasi lagi agar sembuh total. Tapi karena prosentase kesembuhannya relatif kecil dan keluarganya tidak memiliki dana untuk keperluan operasi dan perawatan pasca operasi, maka diputuskan mata Ginanjar tidak dioperasi lagi. Lagi pula waktu itu mata kirinya masih berfungsi dengan baik. Namun sekitar Bulan Juni tahun 2007 Pak Gin malah kehilangan penglihatan total.

"Saya sempat down, bingung mau apa, mau jalan saja susah. Padahal tinggal setahun lagi lulus sekolah. Saya jadi lebih banyak berdiam di rumah, murung, kesehariannya hanya mendengarkan radio di kamar. Keluar rumah hanya diajak Ayah untuk Sholat Jumat," kenang Gin.

Kesedihan Gin bertambah manakala ia mulai ditinggalkan teman-temannya. Mereka yang biasa bertandang ke rumah dan pergi bermain bersama, makin lama makin menjauh. Pak Gin merasa sendirian dan ditinggalkan. Pihak keluarga, saudara dan tetangga juga tidak memiliki pengetahuan mengenai apa yang bisa dilakukan disabilitas agar bisa bertahan menjalani kehidupan tanpa bergantung pada orang lain dan bisa sukses.

"Tiba-tiba masa depan saya menjadi suram. Padahal semula saya bercita-cita ingin bersekolah di STAN, tapi malah hilang penglihatan. Impian saya buyar. Saya masih berharap akan sembuh jadi hanya mengajukan cuti sekolah, tapi ternyata tidak bias, karena harus tetap ikut ujian dan menjalani proses lainnya. Jadi saya berhenti sekolah," tutur Gin.

Ia menceritakan, yang bisa dilakukan pihak keluarga hanya mencari pengobatan alternatif ke 'orang pintar'. Ia pernah berobat ke Yogyakarta dengan sistem pengobatan mentransfer kebutaannya pada kelinci sembari didoakan. Kemudian kelincinya disembelih, bagian hatinya dilarung ke sungai atau laut. Pengobatan dengan cara ini ia jalani hingga lima kali, namun tidak membuahkan hasil.

Pengobatan alternatif lainnya ia jalani di daerah Bekasi dan Tangerang, masing-masing sebanyak dua kali. Di dua tempat itu sistem pengobatannya nyaris sama, yakni kesembuhan mata Ginanjar didoakan, kemudian diminta meminum segelas air putih yang telah dimasuki doa. Pengobatan ini juga tidak berpengaruh apapun pada kesembuhannya.

"Saya merasa makin sedih, malu dan minder. Saya sempat marah pada Tuhan, karena selama ini saya telah menjadi anak yang baik, tapi malah menjadi buta. Sedangkan anak lain yang nakal baik-baik saja. Saya sempat depresi dan terbersit keinginan untuk bunuh diri. Untungnya hal itu tidak saya lakukan," ujarnya.

Kesedihannya makin menggunung tiap kali ada tetangga yang lewat kemudian memeluk ibunya untuk memberi dukungan dengan berkata 'Yang sabar ya'. 

Titik balik kehidupannya dimulai pada 2011. Ketika itu Yayasan Krida Mulia membuka SLB di desanya. Lokasi sekolah tak jauh dari rumah. Salah seorang guru SLB mengajaknya bersekolah di sana, meskipun hanya ia seorang diri yang tuna netra. Ginanjar belajar menulis dan membaca braile. Namun waktu itu meski sudah ingin mandiri, seperti berangkat dan pulang sekolah sendiri, namun pihak keluarga masih belum melepasnya. 

Suatu ketika, pria asal Paliyan, Gunung Kidul ini diminta mewakili sekolahnya mengikuti lomba menulis dan membaca cerita khusus untuk tuna netra. Ditingkat kabupaten ia tidak memiliki lawan, sehingga otomatis menang lomba dan membawa pulang piala. Demikian pun untuk lomba yang sama ditingkat provinsi. Lucunya lomba di provinsi ia mendapat juara 2 meski tetap ikut lomba dan tidak ada lawannya. Kemudian ia dikirim ke lomba yang sama tingkat nasional di Makasar. Ketika itu pesertanya 22 orang dan Ginanjar masuk 12 besar.

"Salah satu yang menjadi motivasi saya dari lomba di Makasar adalah ketemu kaum tuna netra lain dari seluruh Indonesia. Saya amati mereka tidak sedih dan lebih bisa menikmati hidup. Di hati saya mulai terpercik asa, kalau mereka bisa begitu, saya juga yakin bisa. Pulang lomba, saya men-challenge diri sendiri, bahwa hilang penglihatan bukan berarti hilang kemampuan,"ujarnya.

Ginanjar lantas meminta gurunya menjadi tutor agar ia bisa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Ia juga mulai berlatih jalan sendiri ke sekolah, dan pihak keluarga hanya mengamati dari jarak tertentu. Tahun 2012 ia mendaftar jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan diterima. Diawal kuliah ia masih ditemani ibunya di kosan tak jauh dari kampus, juga diantar - jemput tiap pergi kuliah hingga sebulan lamanya.

"Saya dilepas sendiri, karena terpaksa ibu harus menemani kakak yang melahirkan di Bekasi. Dari situ saya berusaha membuktikan bahwa saya bisa mandiri dan mengurus diri sendiri. Meski sempat terjerembab ke selokan ketika berjalan, pernah juga salah jalur. Butuh waktu sebulan untuk terlatih pergi ke kampus sendiri," katanya.

Lulus dari UNY, anak keempat dari lima bersaudara pasangan Pono Sumarjo (alm) dan Marsinah (65) ini mengabdi sebagai guru honorer di SLB Gunung Kidul. Ia merasa senang untuk pertama kalinya bisa bekerja sebagai guru kelas jenjang SMA. Hanya saja jarak tempuh ke sekolah dari rumahnya di Kecamatan Paliyan terbilang jauh, sehingga ia harus tinggal di asrama. 

"Saya lebih punya gambaran untuk hidup dan punya masa depan lebih baik," katanya.

Tahun 2019 ia lolos seleksi CPNS untuk kuota khusus disabilitas dari Kementerian Pendidikan dengan penempatan di Kabupaten Temanggung. Kini Ginanjar lebih bisa mandiri. Ia tinggal tak jauh dari lokasi SLB. Pria lajang ini bahkan sudah bisa pulang pergi dari Temanggung ke Gunung Kidul sendiri. Ia mengaku lebih bangga pada diri sendiri, serta mandiri secara finansial setelah bangkit dari perasaan terpuruk. Ia juga telah membuat orang tuanya bangga.

"Ke depan saya ingin fokus mengajar, mendukung para siswa agar lebih dari saya, lebih maju, lebih sukses, dan lebih mandiri," ujarnya. (MC.TMG/ts;ekp)

Pencarian:

Komentar:

Top